Seorang Kejawen Sejati, berbicara dengan sesama manusia saja ada tingkatannya. Usia Sebaya atau di bawahnya, dan Orang yang lebih Tua.
Jadi untuk berkomunikasi atau menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada Ghusti, selain pemilihan bahasa yang santun, juga dengan tehnik "Olah Roso".
Pola Komunikasi
Sesama Manusia
Kita bicara -> ditangkap oleh lawan bicara -> dimengerti -> lalu dijawab.
Kepada Ghusti
Kita bicara dengan diri sendiri, apakah benar yang kita rasakan dan pikirkan - Sebelum kita sampaikan kepada Ghusti - Ghusti sudah mengerti dan sudah langsung menjawabnya.
Jadi kalau kita Doa atau Sembahyang, dengan bukan bahasa Ibu, dimana yang terjadi antara perasaan dan pikiran kita, mungkin tidak sesuai dengan bahasa yang kita sampaikan, meskipun demikian Ghusti akan tetap mengerti dan menjawab tepat sesuai permohonan perasaan dan pikiran kita, tetapi hal ini justru dapat memperolok-olok Tuhan Yang Maha Esa. Mengapa, karena kita tidak paham isinya.
Sebagai contoh, seorang pemuka agama yang paham benar dengan bahasa agama impor tertentu, memberikan doa yang notabene mendoakan dirinya, tetapi kita yang tidak mengerti, menggunakan doa tersebut untuk permohonan kita. Bagaimana???
Jadi untuk tidak memperolok-olok Tuhan Yang Maha Esa, seyogyanya Berdoa atau Bersembahyang dengan bahasa Ibu. Karena dengan bahasa Ibu, kita tahu persis, tidak hanya isi dan arti yang terkandung, tetapi makna yang terkandung pun kita paham. Selain itu, kita dapat memilihkan dan menggunakan kosa kata yang pantas kepada Ghusti.
Sebagai contoh, kata; Minta dan Mohon, mempunyai arti yang sama, tetapi pantaskah kita menggunakan kata minta kepada Tuhan Yang Maha Esa?