Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik

Tidak ada satu Agama pun di dunia, yang bisa membuat orang jadi baik.
Yang ada; Orang baik dan mempunyai niat yang baik, menggunakan Agama apa pun, untuk tujuan kebaikan. Pasti dia akan jadi baik.
Jadi pilihlah Agama yang sesuai dengan Logika dan Hati Nurani.

Selasa, 29 September 2009

Kejawen Tidak Perlu Guru Agama

Mengapa Kedjawen tidak perlu Guru Agama???
Hal ini dikarenakan, di satu sisi "Empat Sila Utama Pola Hubungan" bisa didapat dari Olah Roso, d sisi lain Pola Hubungan Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah Pola Hubungan yang Unik.

Sehingga tidak ada Guru yang lebih paham dari Diri Kita Sendiri, dalam konteks Hubungan Diri Kita Sendiri dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Alasan lain, Guru Agama cenderung membodohi muridnya demi keuntungan dirinya sendiri.

Di Negara Berkembang, Guru Agama menjadi profesi untuk cari makan. Jadi, Kedjawen adalah hal yang mengancam bagi mereka yang mencari makan dari mengakali silabus pengajaran agama menjadi semakin panjang.

Dari penelitian kecil saya, selama saya berkunjung ke berbagai negara-negara maju di seluruh dunia. Di sana tidak yang namanya Guru Agama.
Karena Agama adalah hal yang sangat pribadi, atau yang saya selalu sebut sebagai "Hubungan Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah Hubungan Yang Unik"

Jumat, 04 September 2009

Eling

Sebelum melakukan segala sesuatu, sebagai seorang Kejawen harus Eling lan Waspodo. Arti kekiniannya, kita harus selalu sadar dan konsentrasi pada apa yang kita akan lakukan. Tetapi arti yang sebenarnya, kita harus selalu ingat dengan Ghusti, dan bahwa segala sesuatu kejadian tidak lepas dari interaksi kita dengan segala sesuatu di sekitar kita termasuk alam, sesepuh, dan mahluk halus lainnya.

Selasa, 25 Agustus 2009

SID - Segitiga Interaksi Diri

Setelah Anda berhasil dengan Olah Roso I atau kita sebut pada tahap ber-Empati, maka tahap berikutnya adalah Olah Roso II atau yang dapat digambarkan sebagai Segitiga Interaksi Diri, yang merupakan langkah kedua untuk menjadi orang yang Berbudi Luhur.

Dalam Olah Roso I, kita mencoba merasakan perbuatan kita kepada orang, persis seperti jika orang lain memperlakukannya kepada kita.

Sedangkan dalam Olah Roso II, setelah kita mahir menjadi orang yang ber-Empati, maka kita pun harus dapat menjadi wasit atau juri bagi sandiwara empati tersebut di atas.

Gambarannya;
Anda berkelahi dengan si A, karena kesalahan si A kepada Anda.
Dalam Empati, pasti Anda hanya berfikir pada saat waktu perkelahian tersebut sebelum dimulai. Jika Anda merasa tidak bersalah, apa salahnya Anda mempertahankan diri dengan berencana turut memukul si A, jika si A memukul terlebih dahulu.

Tetapi, dengan Segitiga Interaksi Diri, Anda mencoba menjadi penonton dalam perselisihan Anda dengan si A, yang mana Anda akan lebih bijak, untuk tidak menuruti si kehendak si A untuk berkelahi.

Tetapi Anda justru meminta maaf, karena hal tersebut hanya kesalahpahaman yang tidak perlu berujung pada perkelahian.

Tetapi bagaimana, jika si A tetap memukul Anda.
Pada Olah Roso III, Anda akan paham, tanpa Anda melawan pun, si A akan jatuh dengan sendirinya.

Senin, 13 Juli 2009

Malu Mengaku Kejawen

Kalau kita membaca kliping-kliping tahun 70-an (tepatnya sekitar tahun 1975 - 1979), terasa benar, pada saat itu masyarakat Indonesia malu mengaku produk dalam negeri.

Hal ini bukan hal yang kebetulan, tetapi ada kekuatan luar yang membawa dampak ini. Kekuatan luar tersebut, tentunya tidak dapat berjalan secara mulus, kalau tidak ada penghianat-penghianat Bangsa ini yang membantu masuknya produk asing, dan mempersulit berkembangnya Produk Dalam Negeri.

Hal tersebut mengingatkan kita pada pristiwa penghianatan Raden Patah YTPHN, terhadap Ayah kandungnya sendiri, demi membantu penyebaran Agama Pendatang.

Pada priode tersebut, mulailah terasa, bahwa banyaknya opini negatif terhadap penganut Agami Jawi, yang dibuat oleh kelompok Agama Pendatang tersebut.

Mulai dari konsep syirik, yang tadinya tidak dikenal kosa kata tersebut di tanah Jawa ini, karena memang sebenarnya Agami Jawi tidak menyembah berhala / Mahluk Halus / Jin atau roh-roh lainnya, seperti yang selalu dituduhkan Agama Pendatang kepada pemeluk Kedjawen.

Di lain pihak, sifat orang Jawa secara mayoritas adalah orang tidak senang berkonflik, maka tuduhan tersebut tidak ditanggapi secara serius. Akibatnya, dari generasi ke generasi selanjutnya, terkikislah pemeluk Agami Jawi. Yang terjebak dalam opini Agama Pendatang.

Yang perlu diingat, semua Agama di Dunia ini, pasti mempunyai atau memiliki satu titik fokus untuk mereka melalukan ritual Sembahyang. Agama Hindu dengan Patung-patung Suci-nya, Agama Budha juga demikian, Agama Kristen dengan Patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus, Agama Islam dengan Kabah-nya.

Bagaimanapun mereka berkelit, semua Benda tersebut adalah sebagai sarana arah konsentrasi dan pembentukan imajinasi mereka. Lagi-lagi masalah ke-Iman-an dan Dogma yang ditonjolkan dalam mengkunci definisi Benda yang mereka Sembah Sebagai Arah Imajinasi dan Konsentrasi, sebagai Definisi yang mereka terjemahkan menurut keyakinan pendahulunya.

Memang, pemeluk agama dimanapun, mungkin hanya segelintir saja dari pemeluknya yang mau benar-benar mengerti makna yang terkandung dalam ritual-ritualnya.

Catatan:
Kejawen, sebenar-benarnya adalah satu-satunya Agama di muka bumi ini, yang tidak membutuhkan Benda apapun untuk melakukan ritual. Hanya saja, tidak setiap orang memilki daya konsentrasi yang tinggi, sehingga bagi mereka inilah dibutuhkan sebuah Benda untuk arah konsentrasinya. Hal ini dikarenakan, tidak setiap orang dapat melakukan Olah Roso dengan penuh rasa pasrah kepadaNya.

Sementara banyak ilmu beladiri di Nusantara ini, yang menggunakan kekuatan Ghaib. Seperti di semua dan setiap bangsa yang ada di Dunia ini, memiliki ilmu-ilmu beladiri yang berkekuatan Ghaib pula.

Rabu, 27 Mei 2009

Iman dan Dogma

Iman dan Dogma adalah sebuah proses pembuntuan yang sistematis bagi pikiran seseorang dalam mengembangkan pola pikirnya yang kritis.

Dengan Iman dan Dogma, jelas-jelas orang tidak diperkenankan mengkritisi isi dari ayat-ayat yang tidak masuk akal.

Agami Jawi mengajarkan kita, bahwa segala sesuatu dalam sebuah Agama atau Kepercayaan, haruslah mempunyai landasan logika yang benar dan menyeluruh.

Keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, bagi sebagian besar Agama merupakan ke-Iman-an yang datangnya dari Dogma, dan tidak boleh dipertanyakan.

Bagi seorang Kejawen, kita tidak perlu mempercayai yang tidak ada. Tetapi, dengan Olah Roso yang benar, seorang Kejawen pasti merasakan adanya Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Jadi dalam Agami Jawi, tidak diajarkan untuk mempercayai yang kita tidak dapat rasakan, apalagi kita tidak tahu.

Jelas dengan proses Cuci Otak yang dilandasi dari ayat-ayat Kitab Suci agama tertentu. Saat ini banyak sekali kejahatan yang mengatasnamakan demi Ke-Iman-an sebuah agama, dirinya rela melakukan pembunuhan.
Karena saya yakin, orang tersebut tidak tahu akan adanya Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, apalagi merasakannya, yang didapat dari proses Olah Roso.
Sebab, kalau orang tersebut dapat merasakan adanya Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa di sekelilingnya, dapat dipastikan orang tersebut tidak akan melakukan pembunuhan kepada ciptaanNya.

Rabu, 20 Mei 2009

Akal Sehat

Akal sehat adalah sebuah proses pemahaman atau proses analisa pikiran yang logis, yang tentunya tidak merugikan pihak lain.

Jadi, kalau agama itu memang ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, mana mungkin Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu Segala-galanya, membiarkan penganut agama-agama ciptaanNya bertarung sendiri berebut kebenaran. Yang tentunya merugikan pihak lain.

Dengan menggunakan "Akal Sehat" maka dalam Agami Jawi, kita tidak memerlukan Dogma, seperti yang digunakan oleh agama-agama rosul atau agama-agama import, sebagai alt untuk menegasi pikiran-pikiran yang kritis yang tidak dapat terjawab oleh Kitab Suci mereka.

Secara psikologis, pikiran yang dikooptasi memerlukan apa yang disebut pengakuan eksistensi dari eksistensinya yang hilang karenanya. Oleh sebab itu, maka Dogma perlu memberikan pengakuan kepada yang memberikan komitmen kepadanya. Untuk kepentingan itu, Iman adalah predikat yang diberikan kepada orang-orang yang mengikatkan diri pada Dogma itu sendiri.