Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik

Tidak ada satu Agama pun di dunia, yang bisa membuat orang jadi baik.
Yang ada; Orang baik dan mempunyai niat yang baik, menggunakan Agama apa pun, untuk tujuan kebaikan. Pasti dia akan jadi baik.
Jadi pilihlah Agama yang sesuai dengan Logika dan Hati Nurani.

Rabu, 29 September 2010

Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Agama Jawi

Dalam ajaran Agama Jawi, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan itu sendir.

Hawa Nafsu
Manusia harus mampu meredam hawa nafsu, dengan mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia.

Nafsu merupakan perasaan kasar, yang akan menggagalkan kontrol diri manusia, dan membelenggu, serta membutakan kita dari dunia lahir maupun bathin.

Nafsu akan menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan bathin tanpa ada gunanya. Dengan nafsu yang tidak terkontrol, manusia akan justru menjadi lemah.

Lebih lanjut, nafsu akan lebih berbahaya, karena mampu menutup Akal Budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu-nya, tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian, tidak dapat mengembangkan empati-nya, mereka semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketentraman kehidupan kita semua.

Pamrih.
Apa tujuan kita berbuat baik? Berbuat baik adalah sebuah Kewajiban, karena dengan berbuat baik dengan pihak lain (Manusia, Alam, Alam Ghaib, dlsb) ciptaanNya, berarti kita pun menjunjung dan mensyukuri segala yang diberikan Ghusti kepada kita..

Berbuat baik kepada pihak lain (Manusia, Alam, Alam Ghaib, dlsb) dengan pamrih, hal ini sama saja dengan tidak mensyukuri kenikmatan dan kebahagiaan yang diberikan oleh Ghusti kepada kita.

Sabtu, 04 September 2010

Sembahyang

Bagaimana sembahyang ?
Untuk sembahyang sehari-hari yang rutin adalah, pada saat “Bangun Tidur” dan ketika “Menjelang Tidur”.

Maknanya; Orang Lahir (Bangun Tidur) dan Meninggal (Tidur)

Bagaimana posisi sembahyang?
Kita cukup terlentang layaknya orang tidur, dengan "Telapak Tangan Kiri Diletakan Tepat di atas Jantung", dan "Telapak Tangan Kanan Diletakan Tepat di atas Puser.

Maknanya; Jantug (Organ Vital Kehidupan - Yang membersihkan Getih / Darah), dan Puser (Tali Kehidupan Ketika Kita di dalam Kandungan)

Apa doanya ketika sembahyang?

Bangun Tidur
Terimakasih Ghusti, saya diberi kesempatan kembali untuk hidup hari ini. “Saudara Papat limo pancer", mari kita sama-sama menikmati hari ini dengan baik, semoga hidup kita juga bermanfaat bagi Ghusti dan Pihak Lain (
Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb).

Menjelang Tidur
Ghusti, terimakasih untuk hari ini. Niat saya tidur, ikhlas dan pasrah pada Ghusti. “Saudara Papat limo pancer", selamat tidur, badan tidur hati tetap bangun. Terimakasih, sudah bersama-sama dengan saya dari Bangun Tidur hingga Tidur Kembali.

Sembayang lainnya:
Dapat dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, Berdiri, maupun Terlentang.
Selain sembahyang wajib, akan lebih baik dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, "Telapak Tangan Kiri Menempel di Dada, dan Telapak Tangan Kanan Menempel pada Puser", atau dengan "Tangan Kanan di Bawah Tangan Kiri".

Makna Tangan Kanan di Bawah Tangan Kirinya; Yang Kotor di Bawah Yang Bersih (Darah Bersih dari Jantung mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kiri, sementara aliran Darah Kotor mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kanan).

Menyembayangi orang Meninggal:
Doanya : Dari Surga kembali ke Surga. Ghusti mohon ampunan untuk teman, saudara, dlsb.(bisa 3 x atau 7 x) Semoga dapat kembali ke asalnya, dengan jalan yang lurus dan terang. Dari Surga kembali ke Surga.

Catatan:
Diakhir sembahyang atau doa, mengapa kita tidak menggunakan kata Amin?
Kata Amin, jika diterjemahkan adalah: kabulkanlah!
Kata kabulkanlah, adalah kata perintah. Jadi tidak sepantasnya kita memerintah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya, "berterimakasihlah" setiap menyudahi sembahyang atau berdoa. Karena kata itulah kebalikannya dari kata Amin
Untuk bahasa Jawa-nya; matursembahnuwun Ghusti
Untuk bahasa Indonesianya; Terimakasih Ghusti
Ghusti selalu memberikan kita yang terbaik, masa manusia masih menyusuruh mengabulkan keinginan serakahnya.

Jumat, 03 September 2010

Kesamaan dan Perbedaan Agami Jawi dengan Beberapa Agama-agama di Dunia lainnya

Kesamaan dan Perbedaan Agami Jawi dengan Beberapa Agama-agama di Dunia lainnya

Kesamaan
  • Tuhan Yang Maha Esa berada di atas segala-galanya.

  • Sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Perbedaan
  • Kedjawen tidak mempunyai Standar Ganda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Agami Jawi, Tuhan Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya. Karena Maha Segala-galanya, Tuhan Yang Maha Esa tidak Bodoh, seperti yang dituduhkan Agama Pendatang, dimana Tuhan Yang Maha Esa hanya mengerti "Satu Bahasa" untuk menerima Doa dari Manusia Ciptaannya, kalau memang Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa mengerti "Satu Bahasa" atau hanya mau mengerti "Satu Bahasa", maka sama saja mereka mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi "Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya".
  • Bagi Seorang Kejawen Sejati, yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah menghukum. Oleh karenanya, Seorang Kejawen Sejati terus menjalani "Olah Roso" untuk dapat ikhlas, memuji, menyembah, beryukur, berpasrah, memohon ditunjukan kebaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mengukum demi kebaikan itu hanya ada dalam sudut pandang pikiran Manusia, sementara Tuhan Yang Maha Esa bukanlah manusia.
  • PUJIAN dan MENYEMBAH kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan bahasa, gerak, pikiran, dan hati nurani, tidak dapat diseragamkan, seperti gerak tertentu dan bahasa tertentu. Bagi Seorang Kejawen, berdoa selalu dengan Bahasa Ibu. Karena, kita sama-sama tahu, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita tahu dan mengungkapkannya dengan kata-kata.
  • Dengan keyakinan niat yang positif, didapat dengan OlahRoso, berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, TIDAK DIPERLUKAN PERANTARAAN APA DAN SIAPAPUN . Hubungan komunikasi inilah, yang justru akan menciptakan ketenangan yang lebih esensial. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Nabi/Rasul sebagai perantaranya.

  • PUJIAN dan RASA TERIMAKASIH kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga dibarengi dengan menghormati Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Karena Kedjawen tidak menempatkan manusia (dirinya) sebagai mahluk yang paling sempurna dibanding dengan lainnya. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Manusia sebagai mahluk sempurna, dibanding maluk lainnya di Dunia ini.

  • BERDERMA tidak bisa dihitung dengan matematis, tetapi dengan keikhlasan. Sebagai mahluk yang tumbuh dari titipan Tuhan, maka keikhlasan bisa diperoleh dengan cara OlahRoso. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan hukum matematis, untuk berderma.

  • AGAMA LAIN menggunakan KITAB SUCI-nya sebagai acuan bagi penganutnya untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi AGAMI JAWI, Seorang Kejawen justru dituntut untuk mendekatkan dirinya sendiri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara Olah Roso yang ikhlas, agar mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawulo Ghusti. Sementara, Agama di Dunia mengatakan bahwa KITAB SUCI adalah buatan Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan :
Kalau diibaratkan mainan (esensinya; semua orang pada saat kecilnya mempunyai kecintaan pada sesuatu - bisa konkrit maupun imajinatif - melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri)
Maka, ibarat beberapa agama-agama di dunia lainnya adalah sebuah rumah-rumahan yang sudah jadi (si anak tinggal memainkannya), sementara Agama Jawi adalah rumah-rumahan yang dibuat dari Lego (atas kreasi keseimbangan anak itu sendiri – antara pikiran dan hatinya). Lagi-lagi yang perlu untuk diingat, Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita ingin memberitahukan kepada Nya.

Kamis, 02 September 2010

Sesajen atau Sajian

Mengapa seorang Kejawen Sejati memberikan Sesajen?
Hal ini dikarenakan oleh tata krama sopan santun kepada Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb), yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.

Analoginya, dengan kita menyembah Ghusti, tidak berarti kita tidak menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita. Dalam kehidupan ini, Agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan pula dalam pola sopan santun kepada “Mahluk Halus” yang termasuk dalam kategori Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb) yang ada di sekitar kita.

Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabannya; tentu tidak khan!

Mengapa malam Jumat?
Seorang Kejawen mempercayai, bahwa malam Jumat adalah malam dimana para “Sesepuh” (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.

Apa yang disuguhkan?
Untuk menghormati para “Sesepuh”, kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu kita, minuman (Teh atau Kopi - tidak menutup kemungkinan jika kita juga ingin menyediakan rokok, bunga melati - sebagai wangi-wangian, dlsb) sebagai simbol penghormatan kita kepada para “Sesepuh” atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada para “Sesepuh”, maupun "Mahluk Halus" yang kita rasa sering berkunjung ke rumah kita.

Mengapa disebut Sesepuh?
Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh di atas kita. Sehingga mereka layak disebut "Sesepuh". Begitu juga Kakek Buyut kita atau Orang Tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka selalu menengok anak cucu-nya pada malam Jumat.

Jadi kita tidak menyembah Sesepuh kita melebihi Ghusti?
Absolut tidak. Kalau dibalik dengan pertanyaan. Apakah Anda menyuguhkan kenalan Anda waktu mereka bertamu ke rumah Anda, berarti Anda menyembah tamu Anda?

Mengapa waktu memberikan Sesajen, bersikap seolah menyembah?
Ini memang ada kesalahan gesture antara menyembah Ghusti, dengan memberi hormat kepada “Sesepuh”.

Sebenarnya dalam Kejawen menjembah Ghusti, tangan diletakan diatas kepala atau bersentuhan dengan dahi.
Yang memiliki makna; Posisi Ghusti adalah absolut di atas segala-galanya

Sedangkan untuk memberi salam hormat kepada “Sesepuh” tangan/jempol menyentuh dagu. Yang memiliki makna; bahwa seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.

Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol menyentuh dada.
Yang memiliki makna; bahwa seorang kejawen menghormati sesamanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas

Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb)